selamat datang

Kamis, 21 Juli 2011

KEUTAMAAN SAHRUL MAGHFIROH

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh barokah, banyak pahala yang menanti bagi yang mau memanfaatkannya. Bukan hanya menjalankan kewajiban kita untuk berpuasa saja,namun alangkah lebih baik jika kita ikuti dengan sunnah-sunnah yang lainnya.

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh barokah, banyak pahala yang menanti bagi yang mau memanfaatkannya. Bukan hanya menjalankan kewajiban kita untuk berpuasa saja,namun alangkah lebih baik jika kita ikuti dengan sunnah-sunnah yang lainnya.

Ada banyak sunnah yang dapat dilakukan antara lain shalat sunnah. Begitu pun shalat sunnah ada berbagai macam dan salah satunya adalah shalat witir. Shalat ini dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semasa hidupnya, beliau selalu melaksanakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan yang mulia bagi kita. Beliau adalah manusia yang telah diampuni dosanya yang lalu dan akan datang, namun sangat antusias dalam melaksanakan ibadah sunnah. Dengan demikian kita sebagai manusia yang tak luput dari dosa harus berjuang terus melawan rasa malas, malulah kita kepada-Nya! Semoga di bulan yang suci ini (bulan Ramadhan) kita dapat meningkatkan ibadah kita.


Shalat witir bagi sebagian orang mungkin terlalu diremehkan karena waktunya adalah setelah shalat Isya’ hingga datangnya fajar subuh. Waktu-waktu tersebut adalah waktu tatkala badan terasa lelah setelah seharian beraktifitas; waktu di mana sang pekerja istirahat, waktu di mana sang ibu meninabobokan putra-putrinya, waktu di mana sang pelajar asyik dengan tugas-tugasnya dan waktu di mana sang pemalas untuk berkencan dengan bantal dan guling. Bagi yang lupa, atau belum tahu akan keutamaan shalat witir,marilah simak artikel berikut ini. Siapa tahu dengan demikian dapat membuka hidayah dan akhirnya dapat bersemangat menegakkan shalat witir ini di rumah-rumah saudari-saudariku.

Hukum dan Keutamaan Shalat Witir

Shalat witir hukumnya sunnah muakkadah yaitu sunnah yang ditekankan sekali. Meskipun ditekankan sekali namun bukan berarti menjadi wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah meninggalkan shalat witir baik saat bermukim maupun sedang bepergian.

Dalil-dalilnya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah itu ganjil dan mencintai yang ganjil.” (Muttafaqun’alaihi)

Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia bertutur, “Sesungguhnya shalat witir tidak harus dikerjakan dan tidak (pula) seperti shalat kamu yang wajib, namun Rasulullah melakukan shalat witir, lalu bersabda, “Wahai orang-orang yang cinta kepada Al-Qur’an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) yang ganjil.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:959, Ibnu Majah I: 370 no:1169, Tirmidzi I:282 no: 452, Nasa’i III:228 dan 229 dalam dua hadits dan ‘Aunul Ma’bud IV:291 no:1403 secara marfu’ saja)

Waktu Pelaksanaan

Waktu antara ba’da shalat isya’ sampai dengan menjelang terbit fajar shubuh
Hadist Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu dari Abu Bashrah Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,”Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menambah kepada kalian satu shalat yaitu witir maka kerjakanlah ia pada waktu antara shalat Isya’ hingga shalat shubuh.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Begitu pula yang telah dicontohkan melalui perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadist ‘Aisyah Radhiyallahu’anha,
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, “Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim)

Dan bagi yang khawatir tidak bisa bangun di sepertiga malam yang akhir maka dianjurkan mengerjakannya di awal waktu.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Kekasihku Rasulullah Shalallahu’alahi wasallam berpesan kepadaku dengan tiga perkara (yang tidak akan aku tinggalkan hingga mati): [1] berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, [2] mengerjakan dua rakaat shalat Dhuha, dan [3] mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.” (Muttafaqun’alaihi). Dan kita ketahui bersama bahwa Abu Hurairah di malam hari menggunakan waktunya untuk mengulangi hadits-hadits yang ia hafal, sehingga sulit bagi beliau bangun di akhir malam. Jadi, beliau dinasehatkan shalat witir sebelum tidur.
Witir pada akhir malam lebih utama bagi orang yang yakin dapat bangun. Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang yakin dapat bangun malam, maka shalat witirlah pada akhir malam, sebab bacaan pada akhir malam itu dihadiri (oleh para malaikat) dan itu lebih baik.” (HR Muslim no 755)
Jumlah Rakaat dalam Shalat Witir

Satu rakaat kemudian salam
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu beliau berada di atas mimbar, Bagaimana cara mengerjakan shalat malam?” Beliau menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya. “” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dua rakaat lalu salam kemudian disempurnakan dengan satu rakaat salam sebagai rakaat ketiganya.
Praktek tersebut telah dilakukan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dijelaskan Nafi’ Rahimahullah dalam pernyataan beliau, “Sesungguhnya Abdullah bin Umar pernah salam (mengakhirkan shalat) antara dua rakaat dengan satu rakaat dalam witir hingga memerintahkan untuk memenuhi sebagian kebutuhannya.” (HR al-Bukhari no 991 dan Imam Malik dalam al-Muwatha’ 1/125)
Ibnu Umar sendiri menyatakan, “Rasulullah pernah memisahkan antara dua rakaat dan yang satu (dalam Witir) dengan salam yang bisa kami dengar( HR Imam Ahmad 2/72,ath-thahawi 1/278 dan Ibnu Hibban 2/35)

Dilakukan secara bersambung tiga rakaat dengan satu salam yaitu setelah rakaat ketiga.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Rasulullah pada bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat jangan tanya tentang bagus dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Lima rakaat kemudian salam
Dari ‘Aisyah ia berkata,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at terakhir.” (HR Muslim)
Sembilan rakaat: delapan rakaat dilanjutkan satu rakaat kemudian salam
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)
Bacaaan Surat ketika Shalat Witir Tiga Rakaat

Dibaca dalam Witir pada rakaat pertama dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la,” pada rakaat kedua dengan “Qul ya Ayyuhal Kafirun,” dan pada rakaat ketiga dengan “Qul Huwallahu Ahad, Berdasarkan hadist Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan,

“Nabi dalam shalat Witir membaca: Sabbihisma rabbikal A’la, Qul ya Ayyuhal Kafirun dan Qul Huwallahu Ahad pada masing-masing raka’at.” (At Tirmidzi no 462, An Nasa’i:no1702,Ibnu Majah no 1172 dishahihkan Al-Albani dalam shahih Sunan An-Nasa’i,1/372,shahih Sunan Ibnu Majah,1/139 dan shahih Sunan At-Tirmidzi,1/144)

Semoga dengan artikel ini dapat bermanfaat, bagi yang sudah tahu tentangnya akan lebih bersemangat dalam mengamalkannya dan bagi yang belum mengenalnya semoga bisa membuka pintu hidayah dalam memahami dan mengamalkannya. Wallahu a’lam.
Ada kenikmatan, ada pula kesulitan. Maka, Rasul mengajarkan dua hal untuk mensikapi keduanya. Syukur dan sabar. Keduanya baik untuk kehidupan seorang mukmin. Sabar bukan berarti diam. Sabar bukan berarti kita tidak boleh menangis dan sedih. Sabar bukan berarti kita tidak boleh mencari bantuan untuk mendapat solusi.

Rasulullah pernah menangis ketika kehilangan putranya Ibrahim yang sedang lucu-lucunya. Para shahabat heran melihat air mata nabi tumpah. Nabi berkata, “Sesungguhnya hati ini bersedih, air mata pun mengalir dan kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim. Tetapi kami tidak berkata kecuali sesuai dengan keridhoan Allah."

Sabar adalah suatu sikap menerima musibah sebagai bagian dari taqdir. Sabar adalah ketenangan yang melindungi dari penyesalan yang tak berujung. Yang akan menyebabkan kesengsaraan semakin berat dan stres menjangkiti. Sabar menstabilkan kondisi hati yang sedang labil karena kesulitan. Dengan jiwa dan hati yang stabil akan membuka jalan lebih lebar menuju solusi.

Kemudian, bantulah solusinya dengan munajat dan do’a. Adukan segala kesulitan kita kepada Allah. Di tengah malam, di saat manusia terlelap dalam mimpinya, kita bermunajat. Kita adukan permasalahan kita dalam sujud panjang kita. Tangan kita tengadahkan sambil berurai air mata penuh harap akan pertolongan-Nya. Doa-doa pun meluncur deras seiring desakan-desakan hati yang sudah lelah terbebani kesulitan.

Umar bin Khottob di saat bangun malam membaca, “Sesungguhnya aku adukan keluh kesah dan kesedihanku kepada Allah.” (Qs. Yusuf: 86) sambil berurai air mata. Dia sadar betul bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah.

Perbanyaklah doa. Tidak rugi orang yang banyak berdoa. Karena tidak ada doa yang tidak dikabulkan, jika kita memenuhi seruan Allah. Memang, kadang apa yang kita minta tidak kunjung tiba. Tetapi pengabulan doa bukan hanya itu bentuknya. Kadang kala Allah mengabulkannya dengan cara menjauhkannya dari musibah. Atau Allah menyimpannya untuk kekayaan simpanan kita di akhirat sana.

Kesulitan adalah keniscayaan kehidupan. Tetapi tak ada sedikitpun alasan untuk kita terkalahkan oleh kesulitan itu.
Dan melalui mementum ramadhan ini dimana segala amal dilipatgandakan demikin pula do'apun diijabah Allah SWT.. MANFAATKANLAH..!!! Wallahu’alam..
Salah satu ciri fitrah manusia adalah adanya rasa malu. Bila rasa malu hilang, manusia cenderung berbuat seperti binatang bahkan bisa lebih parah lagi. Allah berfirman: "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai". (QS. 7:179).

Kini kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan bahwa manusia sudah benar-benar lebih sesat dari binatang: Seorang anak membunuh ibunya, seorang ayah memperkosa anak perempuannya, anak-anak diperjualbelikan, harga diri dijual demi uang, perempuan rela telanjang di depan umum demi seni body painting, suami istri melakukan perselingkuhan dengan bangganya, dsb.

Dalam suatu hadits, Rasulullah mengatakan: "Rasa malu tidak pernah mendatangkan kecuali kebaikan" (HR. Bukhari-Muslim). "Rasa malu semuanya baik'' (HR. Muslim). Bahkan Abu Sa'id Al Khudri pernah menggambarkan bahwa Rasulullah saw. lebih pemalu dari seorang gadis. Bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai, tampak tanda rasa malu dari wajahnya (HR. Bukhari-Muslim). Dalam kesempatan lain, Rasullah mengkaitkan antara iman dan rasa malu: "Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Prilaku jelek adalah bagian dari kekeringan iman, keringnya iman tempatnya di neraka"(HR. Ahmad).

Imam Ibn Majah menyebutkan sebuah hadits yang menggambarkan betapa rasa malu harus dibudayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Rasulullah bersabda: "Jika Allah swt. ingin menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati membudaya, Allah mencabut dari mereka sikap amanah (kejujuran dan tangung jawab). Bila sikap amanah telah hilang maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para mengkhianat merajalela Allah mencabut rahmatNya. Bila rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam".

Menerangkan makna hadits ini, Syeikh Muhammad Al Ghazali berkata dalam bukunya Khuluqul Muslim: "Bila seorang tidak mampunyai rasa malu dan amanah, ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seorang sampai ke tingkat prilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam" (Khuluqul Muslim, hal.171).

Imam An Nawi menyebutkan bahwa hakikat rasa malu itu muncul dalam bentuk sikap meninggalkan perbuatan jelek, dan perbuatan zhalim. Seorang sufi besar Imam Junaid menerangkan bahwa rasa malu muncul dari melihat besarnya nikmat Allah, sedangkan ia merasa banyak kekurangan dalam mengamalkan ketaatan kapada-Nya. (Riyadhushsholihin, h.246).

Mudah-mudahan kita masih memiliki dan mau membangun rasa malu untuk berbuat yang dzalim. Salah satu cara yang paling sederhana adalah memakai pakaian muslimah atau untuk pria memakai pakaian yang mencirikan muslim menurut kultur setempat, dan aktif dalam kegiatan bernuansa Islam. Rasanya tidak mungkin seorang dengan busana muslimah akan melacur. Tak mungkin seorang yang dengan baju koko mengakhiri weekend-nya di diskotik. Ah, malu rasanya membicarakan aib orang lain padahal kita sering tampil dalam kegiatan agama atau mengirimkan artikel Islam seperti ini. Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar